Dalam wacana manajemen strategi, kita pernah mengenal apa yang disebut sebagai industry competitive analysis. Analisa yang dikenalkan oleh guru strategi Michael Porter ini sejatinya ingin melihat apakah sebuah industri merupakan arena bisnis yang atraktif, atau sebaliknya selalu digelayuti dengan harapan yang tergores, dan karenanya tak layak untuk digumuli.
Industri rokok ditanah air mungkin tengah berada dalam harapan yang tercabik itu : dibalik kepulan asap yang demikian memabukkan, terbentang jalan terjal yang pelan-pelan bisa membuatnya terkapar mati. Seperti nikmatnya asap tembakau yang secara pelahan akan membunuh penghisapnya, para produsen rokok ditanah air mungkin juga tengah meretas jalan yang sama : pelan-pelan mereka akan tersedot dalam asap yang membuat mereka bangkrut dan terbaring tewas.
Make no mistake. Industri rokok di tanah air tetap merupakan sebuah industri yang eksotis dengan jumlah perokok terbesar nomer tiga di dunia (setelah China dan India). Kian tahun juga makin banyak perokok belia yang dengan mudah terseret dalam pusaran asap yang terus menari-nari.
Itulah mengapa Philip Morris (alias Marlboro Man) mencaplok Sampoerna dan kemudian BAT melumat Bentoel. Sebab mereka percaya industri rokok di tanah air masih punya harapan yang gilang gemilang. Sebab mereka percaya, sangat mudah mengelabui rakyat Indonesia untuk masuk dalam jebakan candu yang mereka rajut dengan seringai senyum yang tak kenal ampun.
Para kapitalis asing itu (juga para juragan lokal dari Kediri dan Kudus) akan tertawa terkeh-kekeh setiap kali melihat kepulan asap membakar di setiap sudut pelosok negeri. Mereka tertawa sebab itu artinya mereka berhasil menyedot uang trilyunan rupiah dari kantong para perokok di segenap penjuru nusantara; dan kemudian menyimpan uang itu di markas mereka yang megah dan angkuh nun jauh disana – di pusat kapitalis dunia.
But, how long can you go? Sampai kapan seringai senyum kapitalis itu terus menerus menari dibalik kekonyolan para perokok di bumi pertiwi? Sampai kapan para kapitalis rokok global itu terus berdansa dibalik peluh para perokok yang terus ditipunya?
Mungkin tak lama lagi. Mengapa? Ada tiga alasan disini. Yang pertama adalah Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai tindak lanjut dari UU yang menyatakan rokok sebagai zat adiktif. Isi RPP ini antara lain adalah melarang habis iklan rokok dimanapun (baik di media cetak, bilboard yang sekarang ada dimana-mana itu, atau juga sebagai sponsor kegiatan musik, olahraga dll). Jika RPM ini disetujui, industri rokok dan para kapitalis dibaliknya, sungguh akan terkapar dan terluka parah.
Lobi para produsen rokok segera bersatu dan melakukan serangan balik (dan tentu uang milyaran rupiah akan mengalir berceceran sebagai penyedap upaya lobi). Argumen klasik selalu dinyanyikan : nasib ribuan petani tembakau akan terdesak; dan hey, selama ini kami sudah menyumbang cukai triyunan rupiah kepada negara.
(Sumbangan cukai ini sebenarnya dari para perokok, bukan dari produen. Dan asal tahu, uang yang dipakai oleh para perokok buat membeli sebungkus Dji Sam Soe atau A Mild itu ternyata – gilanya – banyak yang diambil dari jatah uang pendidikan anak dan uang makan keluarga sang perokok. Maksudnya, para perokok itu, meskipun miskin dan tidak punya banyak uang, lebih rela menggunakan uangnya untuk membeli rokok daripada untuk membayar SPP anak-anaknya, atau membeli lauk yang memadai buat keluarganya. Disini jelas : jutaan perokok yang mayoritas berasal dari kelas menengah ke bawah, tertipu oleh para produsen rokok; dan mereka lebih rela memberi uang kepada kapitalis rokok yang sudah kaya itu, dibanding menyekolahkan anak-anaknya. Jutaan anak-anak di Indonesia terampas masa depannya, hanya karena ayah mereka lebih memilih membeli rokok dibanding membayar uang sekolah. Sebuah ironi yang tragis. Dan aha…..para kapitalis rokok global itu terus tertawa terkekeh-kekeh melihat ironi ini……
Argumen para petani tembakau terdesak juga mitos. Jika RPP itu diberlakukan, permintaan tembakau tetap akan ada. Bahkan selama ini para produsen rokok Indonesia harus mengimpor tembakau (!) dari China karena kekurangan pasokan dari dalam negeri).
Alasan kedua mengapa industri dan bisnis rokok di tanah air akan mengalami penurunan adalah ini : kesadaran gaya hidup sehat yang terus tumbuh. Lihatlah tren olah tubuh yang kian banyak merasuk dalam gaya hidup masyarakat masa kini : ada yang rajin bersepeda ke kantor, giat melakukan futsal, atau juga tekun ber-gym ria untuk membuat tubuh selalu sehat. Semoga saja kesadaran ini membuat orang makin menjauhi pekatnya asap rokok yang membius dan mematikan itu.
Banyak pihak yang kemudian juga berharap agar kesadaran itu membuat gerakan serentak : yakni menjadikan para perokok sebagai pesakitan yang layak dijauhi karena membuat lingkungan tidak sehat. Dulu, ketika saya sekolah di Amerika, saya melihat hal itu terjadi : teman-teman saya yang perokok – dan jumlahnya sedikit sekali – pelan-pelan selalu dijauhi karena dianggap hanya membawa asap rokok yang penuh racun. Akibatnya jelas : para perokok itu menjadi terisolasi dan terkucil dari lingkaran pergaulan.
Alasan terakhir : makin banyak gerakan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat yang menekan ruang gerak industri rokok. Beberapa diantaranya bahkan membuat langkah kreatif : membuat pencitraan para produsen rokok sebagai monster kapitalis yang rakus dan merampas masa depan anak-anak miskin Indonesia. Pencitraan semacam ini menarik sebab ternyata lebih efektif dibanding kampanye peringatan bahaya merokok yang tertera di setiap bungkus dan iklan rokok itu.
Dalam sejumlah riset neurologi, ternyata slogan bahaya merokok itu justru mendorong orang untuk makin banyak merokok ! Setelah diteliti ternyata ada bagian sel saraf otak yang cenderung mendorong orang melakukan hal kebalikan dari apa yang tertera dalam sebuah peringatan (termasuk peringatan bahaya merokok). Jadi para penelit itu berkesimpulan, kalimat bahaya merokok itu justru menguntungkan para produsen rokok. Nah lho.
Sebaliknya, dalam sejumlah eksperimen iklan, digambarkan para produsen rokok sebagai monster yang rakus dan merampas hak masa depan anak-anak; dan harus dilawan oleh sekumpulan anak muda yang idealis dan memperjuangkan nasib masyarakat. Ajaibnya, ketika iklan eksperimen ini ditayangkan, jumlah anak muda yang merokok turun drastis. Alasannya jelas : bagi anak muda yang tengah mencari jati dirinya, citra anak muda idealis yang melawan kemungkaran itu bagaikan hero yang menancap di benaknya. Sebaliknya mereka juga malu untuk merokok sebab itu artinya menyamakan mereka dengan monster rakus yang mencabik nasib dan masa depan anak-anak (kalau saja saya punya uang banyak, saya akan menayangkan iklan ini di televisi dan koran-koran. Dijamin angka penjualan A Mild dan Djarum Super pasti akan menurun drastis….).
Demikianlah tiga alasan kunci mengapa industri rokok di tanah air tengah berkemas menuju ladang pembantaian yang mematikan. Selama ini pelan-pelan mereka telah membunuh jutaan perokok di tanah air menuju alam baka (jumlah orang yang mati karena kegiatan teroris di tanah air sungguh tak ada bandingannya dibanding mereka yang gugur lantaran asap rokok yang mematikan. Cuma bedanya kalau para teroris terus diburu dan ditembak mati, maka para produsen rokok itu dibiarkan leyeh-leyeh di rumahnya yang megah dan bertebaran di manca negara……).
Mungkin harus tiba saatnya, industri rokok Indonesia menemui nasib seperti korbannya : terjerat asap yang membius dan pelan-pelan membawa mereka menuju sakaratul maut.
Membongkar Praktek Bisnis yang Destruktif
Menjalankan kegiatan bisnis kita tahu merupakan salah satu cara kreatif untuk mereguk senjengkal nafkah, dan mengakumulasi kepingan kapital. Namun tidak semua jenis bisnis layak dan absah dilakoni. Meski menghasilkan bejibun keuntungan, jenis bisnis semacam itu haram hukumnya.
Industri rokok ditanah air mungkin tengah berada dalam harapan yang tercabik itu : dibalik kepulan asap yang demikian memabukkan, terbentang jalan terjal yang pelan-pelan bisa membuatnya terkapar mati. Seperti nikmatnya asap tembakau yang secara pelahan akan membunuh penghisapnya, para produsen rokok ditanah air mungkin juga tengah meretas jalan yang sama : pelan-pelan mereka akan tersedot dalam asap yang membuat mereka bangkrut dan terbaring tewas.
Make no mistake. Industri rokok di tanah air tetap merupakan sebuah industri yang eksotis dengan jumlah perokok terbesar nomer tiga di dunia (setelah China dan India). Kian tahun juga makin banyak perokok belia yang dengan mudah terseret dalam pusaran asap yang terus menari-nari.
Itulah mengapa Philip Morris (alias Marlboro Man) mencaplok Sampoerna dan kemudian BAT melumat Bentoel. Sebab mereka percaya industri rokok di tanah air masih punya harapan yang gilang gemilang. Sebab mereka percaya, sangat mudah mengelabui rakyat Indonesia untuk masuk dalam jebakan candu yang mereka rajut dengan seringai senyum yang tak kenal ampun.
Para kapitalis asing itu (juga para juragan lokal dari Kediri dan Kudus) akan tertawa terkeh-kekeh setiap kali melihat kepulan asap membakar di setiap sudut pelosok negeri. Mereka tertawa sebab itu artinya mereka berhasil menyedot uang trilyunan rupiah dari kantong para perokok di segenap penjuru nusantara; dan kemudian menyimpan uang itu di markas mereka yang megah dan angkuh nun jauh disana – di pusat kapitalis dunia.
But, how long can you go? Sampai kapan seringai senyum kapitalis itu terus menerus menari dibalik kekonyolan para perokok di bumi pertiwi? Sampai kapan para kapitalis rokok global itu terus berdansa dibalik peluh para perokok yang terus ditipunya?
Mungkin tak lama lagi. Mengapa? Ada tiga alasan disini. Yang pertama adalah Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai tindak lanjut dari UU yang menyatakan rokok sebagai zat adiktif. Isi RPP ini antara lain adalah melarang habis iklan rokok dimanapun (baik di media cetak, bilboard yang sekarang ada dimana-mana itu, atau juga sebagai sponsor kegiatan musik, olahraga dll). Jika RPM ini disetujui, industri rokok dan para kapitalis dibaliknya, sungguh akan terkapar dan terluka parah.
Lobi para produsen rokok segera bersatu dan melakukan serangan balik (dan tentu uang milyaran rupiah akan mengalir berceceran sebagai penyedap upaya lobi). Argumen klasik selalu dinyanyikan : nasib ribuan petani tembakau akan terdesak; dan hey, selama ini kami sudah menyumbang cukai triyunan rupiah kepada negara.
(Sumbangan cukai ini sebenarnya dari para perokok, bukan dari produen. Dan asal tahu, uang yang dipakai oleh para perokok buat membeli sebungkus Dji Sam Soe atau A Mild itu ternyata – gilanya – banyak yang diambil dari jatah uang pendidikan anak dan uang makan keluarga sang perokok. Maksudnya, para perokok itu, meskipun miskin dan tidak punya banyak uang, lebih rela menggunakan uangnya untuk membeli rokok daripada untuk membayar SPP anak-anaknya, atau membeli lauk yang memadai buat keluarganya. Disini jelas : jutaan perokok yang mayoritas berasal dari kelas menengah ke bawah, tertipu oleh para produsen rokok; dan mereka lebih rela memberi uang kepada kapitalis rokok yang sudah kaya itu, dibanding menyekolahkan anak-anaknya. Jutaan anak-anak di Indonesia terampas masa depannya, hanya karena ayah mereka lebih memilih membeli rokok dibanding membayar uang sekolah. Sebuah ironi yang tragis. Dan aha…..para kapitalis rokok global itu terus tertawa terkekeh-kekeh melihat ironi ini……
Argumen para petani tembakau terdesak juga mitos. Jika RPP itu diberlakukan, permintaan tembakau tetap akan ada. Bahkan selama ini para produsen rokok Indonesia harus mengimpor tembakau (!) dari China karena kekurangan pasokan dari dalam negeri).
Alasan kedua mengapa industri dan bisnis rokok di tanah air akan mengalami penurunan adalah ini : kesadaran gaya hidup sehat yang terus tumbuh. Lihatlah tren olah tubuh yang kian banyak merasuk dalam gaya hidup masyarakat masa kini : ada yang rajin bersepeda ke kantor, giat melakukan futsal, atau juga tekun ber-gym ria untuk membuat tubuh selalu sehat. Semoga saja kesadaran ini membuat orang makin menjauhi pekatnya asap rokok yang membius dan mematikan itu.
Banyak pihak yang kemudian juga berharap agar kesadaran itu membuat gerakan serentak : yakni menjadikan para perokok sebagai pesakitan yang layak dijauhi karena membuat lingkungan tidak sehat. Dulu, ketika saya sekolah di Amerika, saya melihat hal itu terjadi : teman-teman saya yang perokok – dan jumlahnya sedikit sekali – pelan-pelan selalu dijauhi karena dianggap hanya membawa asap rokok yang penuh racun. Akibatnya jelas : para perokok itu menjadi terisolasi dan terkucil dari lingkaran pergaulan.
Alasan terakhir : makin banyak gerakan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat yang menekan ruang gerak industri rokok. Beberapa diantaranya bahkan membuat langkah kreatif : membuat pencitraan para produsen rokok sebagai monster kapitalis yang rakus dan merampas masa depan anak-anak miskin Indonesia. Pencitraan semacam ini menarik sebab ternyata lebih efektif dibanding kampanye peringatan bahaya merokok yang tertera di setiap bungkus dan iklan rokok itu.
Dalam sejumlah riset neurologi, ternyata slogan bahaya merokok itu justru mendorong orang untuk makin banyak merokok ! Setelah diteliti ternyata ada bagian sel saraf otak yang cenderung mendorong orang melakukan hal kebalikan dari apa yang tertera dalam sebuah peringatan (termasuk peringatan bahaya merokok). Jadi para penelit itu berkesimpulan, kalimat bahaya merokok itu justru menguntungkan para produsen rokok. Nah lho.
Sebaliknya, dalam sejumlah eksperimen iklan, digambarkan para produsen rokok sebagai monster yang rakus dan merampas hak masa depan anak-anak; dan harus dilawan oleh sekumpulan anak muda yang idealis dan memperjuangkan nasib masyarakat. Ajaibnya, ketika iklan eksperimen ini ditayangkan, jumlah anak muda yang merokok turun drastis. Alasannya jelas : bagi anak muda yang tengah mencari jati dirinya, citra anak muda idealis yang melawan kemungkaran itu bagaikan hero yang menancap di benaknya. Sebaliknya mereka juga malu untuk merokok sebab itu artinya menyamakan mereka dengan monster rakus yang mencabik nasib dan masa depan anak-anak (kalau saja saya punya uang banyak, saya akan menayangkan iklan ini di televisi dan koran-koran. Dijamin angka penjualan A Mild dan Djarum Super pasti akan menurun drastis….).
Demikianlah tiga alasan kunci mengapa industri rokok di tanah air tengah berkemas menuju ladang pembantaian yang mematikan. Selama ini pelan-pelan mereka telah membunuh jutaan perokok di tanah air menuju alam baka (jumlah orang yang mati karena kegiatan teroris di tanah air sungguh tak ada bandingannya dibanding mereka yang gugur lantaran asap rokok yang mematikan. Cuma bedanya kalau para teroris terus diburu dan ditembak mati, maka para produsen rokok itu dibiarkan leyeh-leyeh di rumahnya yang megah dan bertebaran di manca negara……).
Mungkin harus tiba saatnya, industri rokok Indonesia menemui nasib seperti korbannya : terjerat asap yang membius dan pelan-pelan membawa mereka menuju sakaratul maut.
Membongkar Praktek Bisnis yang Destruktif
Menjalankan kegiatan bisnis kita tahu merupakan salah satu cara kreatif untuk mereguk senjengkal nafkah, dan mengakumulasi kepingan kapital. Namun tidak semua jenis bisnis layak dan absah dilakoni. Meski menghasilkan bejibun keuntungan, jenis bisnis semacam itu haram hukumnya.
Bisnis penjualan narkoba (drug industry) adalah salah satu jenis industri yang mungkin paling menguntungkan di dunia (coba tanya pada para gembong narkoba dari Colombia). Demikian juga sex industry (porn industry). Kita lalu juga mengenal gambling business yang membuat kota Las Vegas dan Macau makmur. Namun semua jenis bisnis ini layak dijauhi, sebab kelak hanya akan membuat kita terkaing-kaing di alam baka.
Namun demikian ada satu jenis bisnis/industri yang kelihatannya sah-sah saja, namun sejatinya memberikan efek destruksi yang tak kalah ampuhnya.
Jenis industri itu adalah : cigarette industry. Dalam batas-batas tertentu, saya membayangkan para kapitalis dan juragan rokok itu mungkin lebih buruk dibanding koruptor. Kita kecewa berat dengan Nazaruddin dan Gayus yang telah merampas uang rakyat. Namun para juragan rokok itu do more than that.
Kapitalis rokok itu tidak hanya merampas uang rakyat (uang yang mestinya untuk biaya sekolah anak-anak para perokok “diakali” supaya lebih baik digunakan buat menebus sebungkus rokok). Setelah sukses merampas uang rakyat, para kapitalis rokok itu kemudian pelan-pelan membunuh korbannya (ini sama saja dengan kita membeli peluru dengan uang kita sendiri, dan kemudian menembakkan peluru itu ke jantung kita. Really, this is crazy, lebih crazy dibanding perilaku Nazarudin dan Gayus).
Dan ketika efek destruksi rokok itu menerkam, dampaknya adalah penderitaan yang tak tertanggungkan. Dua bulan lalu, tetangga saya divonis kanker paru-paru. Kata dokter ini lantaran perilakunya yang amat suka mengkonsumsi rokok sejak muda. Ia sudah habis uang lebih dari 50 juta untuk mengobati sakitnya itu (dan tetangga saya itu dengan perih mengatakan, bahwa tabungan uang itu mestinya adalah untuk pendidikan masa depan anak-anaknya. Oh my God).
Itulah kenapa para pengamat kesehatan mengatakan biaya kesehatan jutaan para penderita sakit akibat rokok JAUH lebih BESAR dibanding keuntungan total dari industri rokok.
Memang, argumen yang klise itu selalu diteriakkan : hei, kami telah menyumbang cukai, menyediakan lapangan kerja, dan blah-blah lainnya. Namun faktanya : uang yang dikeluarkan untuk biaya kesehatan para perokok jauh berlipat dibanding keuntungan total industri rokok (yang didapat dari cukai rokok, dari penyediaan lapangan kerja, dari distributor dan agen/toko penjual rokok, dll).
Dan jika kita berpikir prinsip opportunity lost, maka kerugian yang ada kian tak terperikan. Maksudnya begini : setiap tahun total sekitar 120 trilyun dibelanjakan oleh para perokok Indonesia untuk membeli rokok kesayangannya. Semuanya habis tak berjejak dalam hembusan asap yang mematikan. (120 trilyun : inilah yang dirampas oleh para kapitalis rokok dari rakyat Indonesia setiap tahunnya).
Kalau saja 50 % perokok Indonesia insyaf, maka akan ada uang sebesar 60 trilyun yang bisa digunakan untuk hal lain yang lebih bemanfaat : untuk biaya sekolah anak-anaknya, untuk beli susu, untuk modal usaha, dan lain-lainnya. Bayangkan, efek positif apa yang bisa dihasilkan dari pengalihan alokasi anggaran para perokok ini bagi keluarga dan sekitarnya.
Sialnya, uang 120 trilyun itu mayoritas masuk ke kapitalis rokok asing. Phillip Moris adalah salah satu pemain bisnis yang dominan (dengan rokok Marlboro, A-Mild dan Dji Sam Soe sebagai andalannya). Itu artinya trilyunan rupiah rakyat Indonesia setiap tahun deras mengalir ke Phillip Moris, yang sebagian sahamnya dimiliki oleh para yahudi dan kapitalis kaya Amerika.
Yang terjadi adalah parodi : suatu saat ada anak muda Indonesia melakukan demo, teriak-teriak mengecam hegemoni asing dan kapitalis Amerika, sambil lahap merokok Sampoerna A-Mild. Para kapitalis dan juragan rokok global yang ada di New York sana tertawa terkekeh-kekeh melihat hal ini.
Jika Anda karyawan yang bekerja di perusahaan rokok, atau agen pengecer rokok, atau jika Anda seorang perokok ulung, silakan baca, renungkan, dan simpan artikel ini baik-baik. http://strategimanajemen.net/2010/03/15/industri-rokok-indonesia-sedang-menjemput-kematian/
No comments:
Post a Comment